Sabtu, 20 Juni 2009

medical information management software


Medical Information Management Software

Author: Jack Meijer



The health and wellness business is growing by leaps and bounds year after year. There has been a huge population explosion world wide combined with some unprecedented medical challenges posed by an increasing pollution, climate change and spread of world wide pandemics and illness challenges of global dimensions. With the privilege of providing health care comes the humongous responsibility of drug companies to act with care and in the best interests of human safety and security of precious lives the world over.

There can be no compromise in terms of drug safety as any slip up or error could lead to death of millions of innocent patients due to negligence and criminal carelessness. Thus, the medical field is highly regulated with superior standards of compliance and reporting in place to minimize drug recalls and after effects.

This has led to the development of medical information software that provides companies with a streamlined and methodical, systems based approach of communication related to drugs safety and compliance measures. Every drug company deals with approving authorities and government departments, R&D specialists as well as internal laboratories, sales and distribution intermediaries, medical professionals and doctors in addition to the end user, who is the patient or the customer. A medical information software system facilitates effective communication and interfaces between these key stakeholders of the drug company.

So, this system helps to handle doctors' queries, patient complaints, regulatory authority audits and requirements too in an integrated and seamless manner. Some medical information software even come with enhanced tools like staff calendar management, built in quality control, FAQ management, correspondence and document management, and reporting. It goes without saying that such software enables greater integration with regulatory systems.

The application of medical information software has become quite universal with pharmaceutical MNCs as well as single product boutique companies adopting this software with élan.

About the Author:

Medical information software and drug safety software help you with your compliance needs.

Article Source: ArticlesBase.com - Medical Information Management Software

Naruto Ultimate Ninja storm

Indonesia Berpemilu



MAKNA PENTING PEMILU

Pemilu 2004 bukan obat mujarab dan seketika untuk semua penyakit bangsa kita, tapi ia menjadi salah alat untuk memperbaiki esok.

Pemilu tentu saja tak akan serta merta, secara otomatis, mengubah kita, memperbaiki kita. Sebagai alat, pemilu (sejauh dilaksanakan secara demokratis) memberi kesempatan kepada kita, rakyat, para pemilih, untuk ikut menentukan wajah esok itu, termasuk wajah esok kita sendiri.

Apakah Pemilu 2004 dapat diharapkan dalam kerangka itu? Jawabannya terpapar di bawah ini.

[PEMILU: MENENTUKAN ESOK]

[ESF, Republika 01042004]

Menjelang Pemilu 1999 lalu, saya berkesempatan mengunjungi sejumlah daerah dan pelosok, dan menemukan Indonesia yang bergemuruh. Indonesia yang dilanda musim semi harapan, bersemangat, penuh optimisme. Indonesia yang tengah membangun mimpi dan cita-cita tentang esok yang lebih baik.

Juli-Agustus 2003 lalu, ketika kesibukan menjelang Pemilu 2004 sudah mulai terasa, saya kembali berkesempatan mengunjungi sejumlah daerah dan pelosok, dan menemukan Indonesia yang sungguh berbeda. Indonesia yang terbelah ke dalam dua kesan.

Di satu sisi, kalangan “elite” begitu bersemangat dan antusias. Mereka ramai-ramai berpartai, bersiap menjadi kandidat – termasuk untuk keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pertama sepanjang sejarah Republik – atau menjadi panitia dan pengawas pemilu. Tapi, di sisi lain, para mahasiswa, masyarakat awam, orang-orang biasa yang saya temukan, berlomba-lomba pesimis dan skeptis. Gemuruh, optimisme, harapan, semangat, dan keyakinan akan esok yang mengharu biru persiapan Pemilu 1999, menjadi langka.

Semangat dan antusiasme elite tentu mudah dipahami: pemilu kapan saja adalah kesempatan baru.

Pesimisme dan skeptisisme masyarakat itu pun sebetulnya bisa dipahami. Seusai Pemilu 1999, lembaga legislatif (DPR dan DPRD), pemerintah (termasuk kehakiman dan kejaksaan di dalamnya), dan badan yudikatif (MA, Mahkamah Konstitusi) bekerja. Harapan pun disandarkan pada mereka, “pemerintahan demokratis” itu. Hampir 5 tahun waktu berlalu. Sebagian besar masyarakat – menurut berbagai survei – ternyata merasa harapan mereka bertepuk sebelah tangan. Harapan yang bangkit menjelang Pemilu 1999, sekarang sedang terancam mati.

Pemilu 1999 dan epilog yang mengikutinya pun menyisakan semacam trauma pada sebagian masyarakat kita: “pemilu demokratis” ternyata tak memperbaiki nasib mereka. Di tengah beban hidup yang begitu berat, bagi mereka, pemilu pun seperti barang mewah yang tak banyak guna. Sekadar memikirkannya pun seperti foya-foya sia-sia. Alasan untuk pesimis dan skeptis lalu dibikin sempurna oleh begitu sempitnya waktu persiapan pemilu, serta terlambat dan terbata-batanya sosialisasi pemilu. Masyarakat masih miskin informasi ketika pemilu makin mendekat.

Harapan yang terancam mati, trauma berpemilu, beban hidup berat, dan kemiskinan informasi itulah yang menjadi lahan subur bagi pesimisme dan skeptisisme itu. Kita belum tahu seberapa jauh gejala pesimis dan skeptis ini akan menurunkan tingkat pasrtisipasi dalam Pemilu 2004. Tetapi soal pokoknya bukan di situ, melainkan seberapa jauh gejala itu akan merusak penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap pemilu dan demokrasi di kemudian hari. Demokratisasi jelas terancam bahaya ketika masyarakat patah arang pada pemilu dan demokrasi. Karena itu, gejala itu -- lebih genting dari sekadar berpotensi menurunkan angka partisipasi – bisa menyeret mundur demokratisasi: menjadi pembunuh angsa yang sedang mengerami telur emas.

Maka, ketika Pemilu 2004 sudah di depan mata, adalah sekarang waktunya untuk merenungkan betapa tak guna berpatah arang. Izinkanlah saya menjelaskan alasan-alasannya.

[Tak Ada Alternatif Lain]

Suka atau tidak, pemilu adalah satu-satunya cara yang tersedia dalam demokrasi untuk menyeleksi para pejabat publik secara berkala. Memang tersedia cara-cara lain: penunjukkan (yang dipraktikkan secara luas di masa Orde Baru), turun-temurun berdasarkan hubungan darah atau penggulingan kekuasaan (lewat kudeta tentara atau revolusi rakyat atau gabungan keduanya). Tetapi, bukannkah semua cara lain ini lebih buruk, apalagi jika dibuat berkala? Bukankah cara-cara ini terbukti tak mampu membikin suara dan kepentingan orang banyak didengar dan dipenuhi secara berkesinambungan?

Boleh jadi, ada yang akan menjawab: Revolusi rakyat kan tak selalu lebih buruk. Untuk mereka, saya punya sederet pertanyaan: Bisakah ia dibuat berkala? Revolusi seperti apa? Revolusi demokratis dan damai – yang menggabungkan people power dengan hasil pemilu yang absah tapi ditolak penguasa lama, seperti terjadi di Filipina, 1986 – ataukah revolusi membabi-buta berdarah-darah? Punyakah kita modal revolusi (ideologi, masyarakat, kepemimpinan, organisasi, jaringan yang revolusioner)? Bukankah tanpa modal, revolusi hanya jadi hiasan pidato, teriakan di jalanan, dan mimpi di siang bolong?

[Pemilu adalah Cara Terbaik]

Pemilu adalah cara, bukan tujuan. Ia diadakan untuk memberi kesempatan kepada orang banyak memutuskan siapa saja yang layak memegang mandat mereka menjadi pejabat publik (anggota DPR, DPRD, dan DPD, serta Presiden-Wakil Presiden).

Sebagai sebuah cara, pemilu memang paling merepotkan, butuh waktu, dan makan biaya (finansial maupun sosial) tetapi dengan hasil terbaik. Cara-cara lain – penunjukan, turun temurun, penggulingan kekuasaan melalui kudeta dan atau revolusi rakyat – memang terlihat lebih cepat-sederhana, tapi dengan hasil lebih buruk, bahkan bisa memfasilitasi pembunuhan harkat-martabat kemanusiaan. Sejarah Orde Baru, kediktatoran di belahan bumi mana saja, komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, sudah membuktikannya. Sebaliknya, sejarah modern kita mengajarkan bahwa Pemilu terbuktikan di banyak tempat sebagai cara terbaik untuk membangun pemerintahan yang mewakili, menjalankan mandat rakyat, bertanggung jawab, dan adil.

Dalam praktiknya memang ada “pemilu demokratis” dan “tak demokratis”. Pemilu 1955 – sekalipun diadakan tanpa peran pemantau -- dikenang sebagai pemilu demokratis karena kebebasan menjadi peserta pemilu (partai nasional dan lokal, organisasi non-partai dan perseorangan) terjamin, kompetisi berjalan sehat, panitia pemilu bekerja secara baik (sekalipun unsur birokrasi berperan penting), kebebasan untuk memilih terjamin (menurut penelitian Herbert Feith dan Alfian, mobilisasi sangat minimal), dan berlangsung secara damai. Pemilu 1955 memfungsikan dirinya dengan baik, memenuhi kriteria pemilu demokratis.

Pemilu-pemilu Orde Baru jelas tak demokratis, tak memenuhi hampir semua kriteria yang diperlukan. Bahkan, pemenang pemilu sudah kita ketahui sebelum pemilu berlangsung. Sebagian besar suara dimobilisasi, dimanipulasi, dan sekadar dipinjam untuk mengabsahkan kekuasaan. Wajar saja, sekalipun pembangunan ekonomi berjalan dan stabilitas terjaga, kekuasaan sejatinya tak mengabdi pada kepentingan orang banyak. Langgam kekuasaan inilah yang memproduksi kebijakan politik dan ekonomi yang kemudian menjerembabkan kita pada krisis politik-ekonomi luar biasa serius.

Pemilu 1999 jauh lebih demokratis dibanding pemilu-pemilu Orde Baru, tapi dengan sejumlah kelemahan: partai lokal tak diizinkan berdiri, sistem pemilu proporsional tertutup (kita memilih tanda gambar bukan orang) membuat mereka yang terpilih tak terikat tanggung jawab pada pemilih melainkan pada partainya belaka (jadilah DPR dan DPRD seperti yang kita miliki sekarang), tak tersedia waktu cukup bagi semua eksponen (pemilih, partai, panitia, pengawas, dan pemantau) untuk menyiapkan dan menyelenggarakan pemilu secara layak, dan ada kelangkaan calon-calon pejabat yang berkualitas. Dengan segenap cacatnya itulah Pemilu 1999 membuat sebagian harapan masyarakat tak terpenuhi.

Kita rupanya senang terjerembab ke lubang yang sama berkali-kali. Sejumlah kelemahan Pemilu 1999 kembali melekat pada Pemilu 2004. Tetapi, jangan lupa, ada pembeda yang sangat penting. Dalam Pemilu 2004 untuk pertama kalinya kita akan memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPD secara langsung. Juga, terbuka peluang – yang semestinya kita manfaatkan – untuk memilih langsung nama kandidat untuk DPR dan DPRD. Pembeda ini menggarisbawahi bahwa, terlepas dari sejumlah kelemahan yang diidapnya, Pemilu 2004 adalah cara yang lebih baik dibanding Pemilu 1999.

[Kita Pemain, Bukan Penonton]

Pembeda penting milik Pemilu 2004 itu membuka peluang bagi para pemilih, kita semua, untuk ada di tengah gelanggang, bukan di pinggiran seperti sebelum ini. Maka, terlepas dari berbagai kelemahannya, Pemilu 2004 memberi peluang pada kita, para pemilih, untuk menjadi pemain, bukan sekadar penonton. Dalam kerangka ini, pemilihan secara langsung anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden-Wakil Presiden (dan kelak Bupati, Walikota, dan Gubernur) adalah kabar baik, tanda kemajuan. Sebab, proses demokratisasi sejatinya adalah upaya terus-menerus untuk merebut kembali tempat rakyat; membuat publik semakin menentukan, sentral, berada di tengah gelanggang.

Menyonsong esok yang lebih baik, menurut saya, adalah mendorong terus agar rakyat, publik, orang banyak – atau apapun namanya – semakin menentukan di tengah gelanggang. Adalah keliru, ketika menjadi penentu, berada di tengah gelanggang, kita justru melarikan diri keluar dari gelanggang. Bagi para penyonsong esok yang lebih baik, alih-alih lari dari gelanggang, tersedia dua pilihan: menjadi pemilih yang bertanggung jawab atau tak memilih dengan sama bertanggung jawabnya.

Pemilih bertanggungjawab adalah mereka yang memilih menggunakan akal sehat dan hati nurani, dan dengan penuh kesadaran membangun hubungan pertanggungjawaban – semacam kontrak – dengan orang-orang yang mereka pilih. Seusai pemilu, mereka juga menjadi penagih janji yang proaktif, yang terus terjaga meminta pertanggungjawaban dari orang-orang yang mereka pilih. Mereka merasa haknya tercederai ketika janji-janji tak dipenuhi.

Pilihan lainnya adalah tak memilih secara bertanggung jawab. Ketika -- setelah diperiksa sungguh-sungguh dan seksama -- tak ada kandidat yang layak diberi mandat, adalah hak warga negara untuk tak memilih. Dalam demokrasi, ini adalah pilihan bebas. Tapi urusan tak selesai di situ. Sekalipun tak memilih, mereka tetap memainkan peranan kewarganegaraannya: terus terjaga, tak diam ketika hak-hak mereka dicederai, dan berjuang proaktif menggunakan cara-cara demokratis untuk terus ikut memperbaiki keadaan, bukan memperburuknya, dari waktu ke waktu. Mereka tak jadi penonton melainkan pemain dalam perubahan.

[Pemilu Menentukan Masa Depan]

Suka atau tidak, Pemilu 2004 akan menjadi ajang penyeleksian para pejabat public. Mereka disebut pejabat publik karena akan bekerja atas nama publik, orang banyak, merumuskan kebijakan-kebijakan yang mengikat semua orang. Kebijakan-kebijakan ini, suka atau tidak, akan ikut menentukan hidup kita secara konkret: membuat harga beras murah atau mengereknya tinggi-tinggi, mengurangi pengangguran atau malah mengembangbiakkannya, mengatasi kemiskinan atau justru makin memiskinkan, membuat aman atau menyuburkan kejahatan, memberantas terorisme atau membikinnya beranak-pinak, memberantas korupsi atau mempromosikannya, dan seterusnya.

Karena itu, suka atau tidak, Pemilu 2004 akan ikut menentukan wajah masa depan kita. Siapakah sebenarnya para penentu dalam pemilu yang akan menentukan masa depan itu? Dalam pemilu yang tak demokratis, para penentu adalah sekelompok kecil orang yang berkuasa, yang kekuasaannya memberangus suara dan kepentingan orang banyak. Semakin demokratis sebuah pemilu, semakin bergeserlah peranan penentu ke tangan para pemilih.

Pemilu 2004, dibanding Pemilu 1999, memberi ruang yang makin besar bagi pemilih untuk menjadi penentu. Ia memfasilitasi kita untuk menentukan sendiri secara langsung siapa pejabat publik yang kita percaya. Dengan ini, dalam batas-batas tertentu, ia juga memfasilitasi kita menentukan sendiri masa depan kita.

Benar, bahwa Pemilu 2004 masih dilekati sejumlah cacat: UU yang bermasalah, sistem pemilu yang bisa kembali menjadi tertutup (partai dan bukan pemilih yang akhirnya menentukan siapa yang terpilih), partai local tak dibolehkan, kandidat tak layak dan bermasalah masih banyak, persiapannya sangat sempit, penggunaan dananya belum efisien dan efektif, sosialisasinya sangat lambat, dan seterusnya.

Tapi, jangan lupa, jika Tuhan mengizinkan, dunia tak berakhir selepas pemilu. Masih ada esok di baliknya. Untuk merebut esok yang lebih baik, semua cacat itu itu mesti diperbaiki. Celakanya, perbaikannya tak lepas dari peranan para pejabat publik yang nanti akan terpilih dalam pemilu ini. Jika kita memilih pejabat publik yang amanah, yang bertanggungjawab, kemungkinan bagi perbaikan yang kita harapkan pun terbuka. Maka, menyiakan-nyiakan pemilu adalah menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut menentukan esok yang lebih baik. Tentu saja, rumus ini hanya berlaku manakala kita memilih atau tak memilih secara bertanggungjawab.

Walhasil, patah arang atau putus asa adalah pilihan tak bijaksana. Ia tak akan menjamin esok yang lebih baik. Ia justru mencelakakan: tak bisa membikin hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok lebih baik dari hari ini. Esok yang lebih baik tak terletak di tangan orang-orang patah arang dan putus asa.

Noam Chomsky suatu ketika berkata: “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.” Kita sendiri, sudah lama percaya: Keadaan satu kaum tak akan pernah berubah manakala mereka sendiri tak memperjuangkan perubahannya.